Anak dilamar tukang ojeg? Apa reaksi dan jawaban Anda?

Bukan saya. Anak saya laki-laki dan karena jarang sekali tukang ojeg wanita beroperasi, kesil kemungkinan anak saya dilamar oleh tukang ojeg.

Lagi pula, sebagai pihak laki-laki, saya harap pihak keluarga kamilah yang melakukan lamaran dan bukan sebaliknya.

Pertanyaan ini tercetus beberapa jam yang lalu, di saat selepas turun dari Commuter Line di Stasiun Gondangdia, Jakarta, saya beristirahat. Tidak sengaja seorang tukang ojeg muda ikut duduk di sebelah.

Ngobrol punya ngobrol tentang masalah pekerjaan dan gaji, ia menceritakan bahwa dirinya pernah ditinggal pacar karena memutuskan melepas pekerjaan di kantor dan memilih menjadi tukang ojeg.
Alasannya keluar kerja adalah karena merasa tidak cocok dan juga gajinya tidak mencukupi.

Lalu, sebagai akibat dari keputusannya adalah sang pacar meninggalkan dirinya.

Hasilnya ia berpandangan bahwa bekerja di sektor informal, seperti yang sekarang ini dijalaninya membuatnya “jauh jodoh”, alias sulit mendapatkan jodoh.

Benarkah?

Yah. Sulit untuk menjawabnya karena bagi seseorang yang memiliki keyakinan tentang adanya Yang Maha Kuasa, masalah jodoh bisa dikata selalu dikaitkan dan tergnatung pada kehendak Yang Kuasa. Bukan manusia.

Meskipun demikian, ada sisi menarik dari cerita tersebut. yang membuat pertanyaan itu timbul. Benarkah peluang pekerja informal lebih kecil dalam mendapatkan jodoh? Apa kira-kira reaksi dan jawaban para orangtua kalau anak mereka dilamar tukang ojeg?

Masyarakat Indonesia mengedepankan kestabilan, status, dan penampilan

Berapa gaji berdasarkan standar Upah Minimum Regional di Jakarta? Rp. 3.100.000 saja. Jam kerja 8 jam perhari, total 40 jam seminggu.

Berapa pendapatan seorang tukang ojeg? Bervariasi tergantung dia rajin atau tidak. Tetapi, di kawasan Gondangdia, sekali “narik” bisa Rp. 20.000 atau 30.000.

Kalau untuk mendapatkan Rp. 3 juta rupiah perbulan, secara rata-rata, perhari sang tukang ojeg harus mampu menghasilkan Rp. 100.000.-/saja.

Bukan sebuah hal sulit karena ia bisa mengumpulkannya dengan hanya “narik” penumpang 4-5 kali saja. Selebihnya ia bisa “nongkrong” atau langsung pulang ke rumah. Bila terjadi hambatan dengan commuter line, malah bisa lebih karena penumpang akan berebutan dan situasi menjadi seperti lelang, siapa yang berani bayar lebih, dia yang akan diangkut.

Hal yang diamini sang tukang ojeg muda tersebut. Ia bisa menghasilkan lebih daripada saat bekerja di kantor.

Tetapi, kalau seorang wanita diminta memilih antara seorang pekerja kantoran dan seorang tukang ojeg, mana kira-kira yang akan terpilih menjadi pacar atau suaminya?

Betul sekali. Kemungkinan besar sang pekerja kantoran akan menjadi yang terpilih. Tidak mutlak ya, karena tetap saja dalam urusan seperti ini hati terkadang berbicara dan membuat logika berantakan. Meskipun demikian, pola pikir banyak orang di Indonesia secara umum masih menjadi alasan mengapa sang pekerja kantoran akan menjadi pemenang dalam “kontes” ini.

Alasannya

1. Kestabilan

Gaji akan datang setiap bulan pada tanggal tertentu. Dengan begitu, sang pekerja kantoran memiliki kelebihan dengan menjanjikan kestabilan kepada sang calon dan orangtuanya.

Ia tidak akan tergantung hujan, angin, sakit, seperti yang biasa dialami oleh para tukang ojeg untuk mendapatkan penghasilan. Dengan begini, diharapkan rencana jangka pendek atau panjang tidak akan tergantung pada kondisi yang tidak bisa mereka kontrol.

1-0 untuk pekerja kantoran.

2. Status

Kerja dimana suami atau menantunya ? “Di PT Anu. Di Jakarta”. Tetangga biasanya akan bertanya lebih lanjut bidang apa kantornya dan seterusnya.

Tetapi kalau jawabannya “Tukang Ojeg”. Ucapan yang keluar biasanya sekedar “Oooo..” Tidak akan ada pertanyaan mangkal dimana dan lainnya. Selesai sampai disitu.

Yap. Suka atau tidak suka, masyarakat Indonesia terutama masih memikirkan tentang statusnya. Oleh karena itu terkadang “bibit-bebet-bobot” masih menjadi bagian dari pemikiran saat menentukan siapa yang cocok menjadi suami atau jodoh anaknya.

Walau banyak yang mengatakan bahwa yang penting sayang sama anak mereka atau dirinya, sebisa mungkin, dan kalau memang ada pilihan lain, sudah pasti tukang ojeg bukanlah sebuah kategori yang akan mendapatkan prioritas.

Apalagi dibandingkan pekerja kantoran. 2-0 untuk pekerja kantoran.

3. Penampilan

Kemeja licin terseterika. Begitupun celananya. Wangi pula karena disemprot parfum. Kerja di ruangan AC bisa menjamin wanginya bisa sampai sore, kalau pakaian dicuci pakai Molto pewangi.

Bandingkan dengan tukang ojeg. Dekil. Jaket butut. Bau keringat. Tidak punya kantor. Kursi kayu di bawah pohon yang menjadi “kantor” nya.

Bisa bersaing? Sulit sekali  3-0

Jadi, sangat dimaklum kalau ada seorang wanita atau orangtuanya lebih memilih pekerja kantoran dibandingkan tukang ojeg. Pola pikir masyarakat Indonesia masih agak berat ke sisi yang ini.

Beberapa kelebihan yang didapat tukang ojeg, seperti waktu yang lebih leluasa, penghasilan yang bisa lebih besar sering dinihilkan dan digantikan dengan pertimbangan di atas.

Jadi, saya cukup maklum mendengar cerita sang tukang ojeg muda teman ngobrol tadi. Pacarnya tidak memandang profesinya sebagai prospektif dari banyak sisi. Walau sebenarnya tidak selalu benar dan lebih bersifat kosmetik saja.

Uang adalah uang. Dihasilkan lewat transfer dari bagian HRD atau uang recehan dari penumpang, tetaplah uang dan bisa dibelanjakan. Penampilan tidak akan membuat kenyang perut dan justru cenderung menghabiskan biaya.

Tetapi, yah itulah hidup. Terkadang manusia lebih mengedepankan apa yang orang lain lihat dari dirinya, terkadang dengan biaya berapapun.

Oleh karena itu, agak tergelitik untuk tidak bertanya. Kalau Anda memiliki anak wanita, lalu seorang tukang ojeg datang melamar, apa reaksi dan jawaban Anda?

Saya tidak bisa membayangkan karena berdasarkan perhitungan di paragraf awal, kemungkinan tidak akan terjadi dalam kehidupan saya. Tetapi, kalau Anda memiliki anak perempuan, apa ira-kira jawaban Anda?

Bisa sharing disini?

+ posts