Serius. Memang sepertinya tidak masuk akal, tetapi kenyataannya begitu. Saya berpendapat kalau belajar budaya antri jelas lebih penting untuk diajarkan kepada anak dibandingkan pelajaran matematika.
Gila kali yah.
Tidaklah. Saya masih cukup waras untuk menilai. Buktinya tempat saya bekerja hingga saat ini masih bersedia menggunakan jasa saya. Mereka bersedia membayar gaji lumayan setiap bulannya.
Tentunya, kalau mereka menganggap saya gila, jangankan memberi upah, membolehkan masuk ke dalam kantor saja sudah pasti tidak mungkin.
Jadi, pandangan tersebut dibuat dalam keadaan waras dan dengan alasan tertentu.
Kalau Anda tidak percaya, cobalah cerna beberapa contoh di bawah ini.
1. Berkendara melawan arus
Salah satu masalah yang sepertinya tidak terselesaikan karena tetap saja terulang setiap hari.
Ini adalah salah satu cermin dari sebuah bangsa dimana budaya antri belum menjadi dijiwai dengan benar.
Perhitungan secara matematika yang melakukan ini benar. Mereka dengan melawan arus bisa menghemat waktu dibandingkan harus ikut bermacet-macet ria kalau mengikuti jalur yang seharusnya.
Padahal macet itu adalah salah satu bentuk budaya mengantri dimana pengguna jalan menunggu giliran untuk bisa memanfaatkan infrastruktur umum, jalan.
2. Memberi sogokan dan menerima suap
Mengurus e-KTP bisa sangat menyebalkan. Waktunya bisa berminggu-minggu, karena antrian panjang orang yang berniat sama bisa melebihi panjang kemacetan di gerbang Cibubur saat jam kantor usai.
Tetapi, semua juga sudah cukup tahu, bahwa antrian itu bisa disulap menjadi pendek jika ada amplop atau kenal orang dalam. Tidak pake lama.
Blangko yang kalau menurut pengumuman tidak tersedia menunggu kiriman, bisa disulap dan seketika keluar dari laci meja.
Ini hanya dua contoh dalam masyarakat yang masih belum menjiwai apa yang disebut dengan budaya mengantri atau antri. Kalau dibuatkan daftar lengkapnya, bisa sama panjanganya dengan antrian membuat e-KTP dan tulisan ini tidak akan pernah selesai.
Bagaimana bisa kedua hal tersebut hasil dari tidak menjiwai budaya antri?
Pertanyaan yang bagus!
Tetapi, kalau Anda masih bertanya seperti itu berarti Anda masih tidak paham tentang falsafah dan manfaat yang ada dalam budaya mengantri.
Apa yang diajarkan budaya antri
Antri atau mengantri bukan hanya sekedar berdiri di belakang orang lain untuk menunggu giliran. Di dalamnya banyak sekali pelajaran yang berguna bagi pembentukan karakter seseorang dan masyarakat.
Pelajaran apa yang bisa didapat, silakan lihat di bawah ini :
1. Menghormati hak orang lain
Mereka yang datang pertama memiliki hak untuk dilayani lebih dahulu. FIRST COME FIRST SERVED.
Hak itu akan dirampas ketika kita membayar suap atau sogokan agar kita mendapat kesempatan terlebih dahulu.
2. Manajemen waktu
Kalau ingin dilayani paling awal, seseorang harus mulai membuat jadwal dan target kapan ia harus berangkat agar bisa mendapatkan posisi paling depan dalam antrian.
3. Kesabaran
Menunggu tidak pernah menjadi sesuatu yang menyenangkan. Tetapi, kalau memang perlu mau tidak mau kita harus bersabar dan menerima kondisi yang ada.
4. Kedisiplinan
Sudah pasti. Untuk membuat barisan rapi dan tersusun berdasarkan waktu kedatangan membutuhkan disiplin. Cobalah menyerobot, maka barisan itu akan menjadi kacau dan tidak tentu.
5. Kreatif
Waktu menunggu itu adalah waktu yang tidak produktif. Tetapi, bagi orang yang tahu menghargai waktu, ia akan berpikir untuk memanfaatkannya.
Caranya bisa beragam. Orang Jepang biasanya memanfaatkan waktu saat berada di antrian dengan membaca buku. Saya menggunakannya untuk menulis.
6. Bersosialisasi
Kalau tidak suka membaca atau bermain game, kenapa tidak mengajak orang di depan, belakang, samping untuk berbicara. Siapa tahu ada peluang bisnis?
Daripada bengong tidak jelas, menjalin komunikasi dengan orang sekitar kita bisa membuka pintu terhadap berbagai kesempatan.
7. Rasa malu
Tidak percaya? Coba saja menyerobot antrian kalau mau diteriaki orang banyak.
Mau tidak mau, seseorang akan terbiasa memperhitungkan rasa malu kalau melakukan yang tidak seharusnya.
8. Kejujuran
Setiap orang dalam antrian tahu di depannya orang yang mana. Kalau tiba-tiba ada yang ingin menyela atau menyerobot, sudah pasti ia akan menegur dan mempermasalahkannya.
Suka atau tidak suka, kita akan dipaksa berbuat jujur.
9. Konsekuensi
Anda datang siang, berarti nomor 60 yang didapat. Kalau mau, nomor 1 atau 2, datanglah lebih pagi.
Ada konsekuensi dari setiap tindakan atau keputusan yang kita ambil.
10. Persamaan hak
Antrian disusun berdasarkan siapa yang datang terlebih dahulu dan bukan berdasarkan umur, pangkat, atau kekayaan.
Seorang miskin kalau ia datang lebih awal harus tetap mendapatkan haknya untuk dilayani terlebih dahulu daripada orang yang punya mobil 10 tetapi datang terlambat.
Itulah 10 butir tentang apa yang diajarkan oleh budaya antri.
Cobalah bayangkan kalau semua memahami dan menjiwai hal ini, maka tidak akan ada mereka yang dengan seenaknya berkendara melawan arus atau naik ke atas trotoar. Mereka akan menyadari bahwa tindakan tersebut adalah bentuk perampasan hak orang lain, dalam hal ini pejalan kaki.
Tidak ada lagi saling serobot di jalanan karena semua akan berpikir bahwa itu adalah konsekuensi dari keputusan mereka bangun siang. Kemacetan tidak akan dialami oleh mereka yang bangun pagi dan berangkat lebih awal.
Semua akan menjadi teratur.
Entahlah, apakah ada penelitian yang sudah meneliti kaitan antara budaya antri dengan kemajuan sebuah negara. Mungkin belum ada, tetapi sebuah survey di Australia menunjukkan lebih banyak orangtua di negara Kanguru tersebut yang lebih khawatir anaknya tidak bisa mengantri daripada kalau mereka mendapat nilai buruk dalam matematika.
Alasannya sederhana. Mereka berpandangan untuk mengajarkan anak matematika hanya diperlukan waktu beberapa bulan, tetapi untuk membiasakan anak mengantri dibutuhkan waktu tahunan.
Para orangtua tersebut mengatakan, dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan matematika tidak terlalu banyak berperan. Kebanyakan orang hanya memerlukan kemampuan matematika sederhana saja, seperti BAGI, KALI, TAMBAH, dan KURANG saja. Sedangkan mereka akan sering berhubungan dengan orang lain, masyarakat dan budaya antri mengajarkan lebih banyak tentang bagaimana harus bersikap dalam sebuah masyarakat.
Budaya antri pada dasarnya mencerminkan norma dan etika yang ada dalam masyarakat. Kesemua itu akan terus dipakai selama hidup.
Mungkin karena itulah negara-negara dimana budaya antri sudah menjadi kebiasaan adalah negara maju. Sebagai contohnya Singapura, Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan banyak negara lainnya. Mungkin karena itulah Indonesia sulit menjadi negara maju karena budaya antri masih sulit sekali dijiwai oleh warganya.
Oleh karena itulah, saya berpandangan bahwa negara ini lebih membutuhkan pelajaran tentang hal yang tidak rumit, mengantri. Tidak perlu menghapal rumus-rumus, tidak perlu belajar logika ruwet, hanya cukup belajar bagaimana membiasakan budaya antri dalam setiap tindakan.
Dengan begitu, negara ini akan dipenuhi dengan orang-orang yang bisa menghormati hak orang lain, tahu bagaimana mengatur waktu, mau menerima resiko, penuh kreatifitas dan lain sebagainya. Mereka-mereka ini bisa mendorong kemajuan bangsa ini.
Dibandingkan sekarang ini, dimana banyak orang mampu berteori panjang lebar tanpa tindakan, ribuan orang suka menyerobot hak orang lain tanpa bersalah, tahu menghitung komisi yang didapat bahkan dalam hal yang tidak seharusnya.
Negara ini lebih butuh pelajaran budaya antri dibandingkan matematika.