Pertengkaran antara suami dan istri merupakan sesuatu hal yang wajar dan pasti terjadi dalam kehidupan berumahtangga. Tidak akan ada keluarga yang tidak pernah mengalaminya. Jadi, tidak perlu terlalu khawatir kalau harus bertengkar, syaratnya jangan di depan anak.
Bila emosi sudah memuncak, sebaiknya segera masuk ke kamar, tutup pintu, dan kemudian silakan saling berargumen dengan pasangan Anda. Tetapi, sebisa mungkin pastikan bahwa suara keras Anda dan pasangan tidak akan mencapai telinga anak.
Bukan sebuah hal yang mudah apalagi ketika gelegak kemarahan sudah meninggi, tetapi otak Anda harus tetap jernih dan melihat dampaknya. Sebagai orang dewasa dan memiliki kewajiban melindungi, Anda harus menyadari berbagai dampak bertengkar di depan anak.
Dampak bertengkar di depan anak
Sebelum beranjak masuk, harus dipahami dulu bahwa pada dasarnya dampak yang terjadi kalau pertengkaran pasutri dilakukan di depan anak di bawah ini bukanlah sebuah “kepastian”.
Banyak sekali faktor dan elemen lain yang mungkin akan mempengaruhi, seperti frekuensi pertengkaran, atau karakter si anak sendiri.
Meskipun demikian, sebagai orangtua, tidak ada salahnya kalau kita menghindarkan resiko sekecil apapun yang bisa mempengaruhi perkembangan seorang anak
1> Anak Menjadi Ketakutan
Pertengkaran biasanya akan melibatkan suara keras, teriakan. Tingkat desibelnya meninggi dan menghadirkan rasa tidak nyaman. Itulah mengapa seseorang menutup kuping bila mendengar suara terlalu keras.
Pada anak kecil hal itu bukan hanya akan membuatnya merasa tidak nyaman, sangat mungkin akan berujung pada timbulnya rasa takut.
Apalagi, suara keras itu datang dari kedua orangtuanya.
Jangan heran bagi anak balita, ketika pertengkaran itu terjadi, ia pun akan menangis. Hal itu disebabkan karena ia merasa tidak nyaman dan ketakutan.
Ketakutan yang mungkin terus dibawanya dan mempengaruhinya selama pertumbungan.
2> Anak sulit memusatkan perhatian dan mengontrol emosi
Sebuah studi dari Child Development pada tahun 2013 menemukan bahwa ada hubungan antara pertengkaran orangtua dan kemampuan anak untuk berkonsentrasi dan mengontrol emosi.
Anak yang orangtuanya lebih sering bertengkar lebih sulit melakukan hal itu dibandingkan yang orangtuanya rukun. (Sumber)
3> Kesulitan dalam berhubungan
Orangtua biasanya adalah contoh yang pertama kali ditiru oleh seorang anak.
Bila orangtuanya sering bertengkar, bukan tidak mungkin seorang anak akan menganggapnya sebagai sesuatu yang bisa ditiru. Pada akhirnya mereka akan menerapkannya saat harus berhubungan dengan orang lain.
Hal ini pun sangat mungkin terbawa sampai dewasa dan menyebabkan seseorang sulit untuk bisa menjalin hubungan dengan sehat.
4> Kecemasan berlebih
Lontaran kata-kata pedas dan kasar tidak jarang keluar dari mulut pasangan suami istri yang sedang bertengkar. Umpatan dan makian tidak jarang juga dikeluarkan demi menyakiti “lawannya”.
Tentunya, apabila semua itu terdengar oleh anak, akan melahirkan sebuah kecemasan tersendiri bahwa orangtuanya sudah tidak saling menyayangi dan ingin berpisah.
Efeknya, ia akan terus dilanda kecemasan karena tidak ada anak yang ingin kehilangan orangtuanya.
5> Tingkah laku bermasalah
Kecemasan, ketakutan, dan rasa ketidakmampuan untuk membuat orangtuanya berdamai menghadirkan tekanan tersendiri bagi seorang anak.
Masalahnya, ia tidak lagi mempunyai tempat untuk melampiaskan uneg-uneg dan yang dirasakannya. Mau berbincang dengan ibu, ia bisa dianggap menentang bapak. Begitu pun sebaliknya.
Hasilnya ia memendam berbagai rasa tanpa punya tempat pelampiasan. Biasanya semua itu akan dilimpahkan dalam bentuk kenakalan atau tingkah laku bermasalah di luar rumah.
Banyak sekali anak broken home yang menjadi “binal” dan “liar” dengan tujuan untuk menarik perhatian orangtuanya yang terlalu sibuk bertengkar.
6> Kelainan / gangguan makan
Orang dewasa saja akan sering mengalami gangguan makan ketika berada dalam kondisi stress. Perut sakit dan maag akut merupakan hasil dari berada dalam lingkungan yang menekan dan penuh stress.
Hal yang sama pun akan terjadi ketika ketegangan dan kecemasan meningkat melihat orangtua bertengkar di depan mata mereka. Apalagi dilakukan berulangkali.
Beberapa gangguan makan, seperti anoreksia dan bullymia kerap dihasilkan akibat tekanan yang datang pada seorang anak yang orangtuanya sering ribut.
7> Rasa rendah diri
Bisa bayangkan perasaan seorang anak yang orangtuanya sering bertengkar saat melihat anak yang lain berjalan bersama orangtuanya?
Pasti sakit sekali rasanya.
Setiap anak pasti menginginkan hidup dalam keluarga yang rukun dan saling menyayangi, sedangkan di hadapannya, orangtuanya kerap beradu mulut dan saling mencaci.
Pada akhirnya ia bisa merasa rendah diri dan memandang dirinya rendah karena merasa tidak “memiliki” apa yang biasa dimiliki seorang anak, orangtua.
8> Penggunaan barang terlarang
Manusia selalu butuh sesuatu untuk menghilangkan rasa takut, cemas, khawatir, dan sakit.
Hal itu sulit dilakukan ketika dua orang yang seharusnya mendengarkan dan mengerti apa yang ada di dalam hati seorang anak, terlalu sibuk memuaskan ego dengan saling berteriak.
Anak tidak punya tempat untuk mencurahkan perasaannya.
Untuk menghilangkan rasa sakit itu tidak jarang mereka beralih pada benda-benda terlarang, seperti narkoba dan obat-obatan adiktif lainnya. Semua demi mengurangi rasa sakit yang ada di hatinya.
Masih akan ada banyak dampak lain dalam diri seorang anak yang mungkin tidak terlihat, tetapi seperti benih perusak di dalam hatinya. Sesuatu yang pada akhirnya akan mengganggu perkembangan diri, baik fisik ataupun mental si anak.
Oleh karena itu, sudah seharusnya, sebagai orang dewasa, sepasang suami istri harus bisa menahan diri sejenak di saat marah kepada pasangan untuk setidaknya mencari tempat untuk bertengkar.
Paling tidak dengan begitu, dampak kepada anak akan bisa diminimalkan dan tentunya mereka bisa mendapatkan lingkungan yang dibutuhkan bagi perkembangannya.
Harap diingat yah, bapak dan ibu.