Suami bekerja mencari nafkah, istri di rumah mengurus pekerjaan rumah tangga adalah sebuah pola yang umum dipakai oleh banyak rumah tangga di dunia, bukan hanya Indonesia. Bagaimana kalau peran ini dirubah, pendeknya istri bekerja, suami di rumah, apakah akan menjadi sebuah masalah?
Sebuah pertanyaan yang mungkin sulit terbayang, tetapi sangat mungkin terjadi dalam kehidupan setiap manusia. Meskipun sangat tidak diharapkan, banyak sekali kejadian yang memaksa sebuah rumah tangga harus melakukan perubahan fungsi atau peran suami dan istri bertentangan dengan pola umum dalam masyarakat.
Pemutusan hubungan kerja, kecelakaan merupakan dua hal umum yang bisa memaksa sebuah rumah tangga harus melakukan perubahan peran anggota-anggotanya. Tidak seorang pun akan berharap kejadian seperti ini menimpa mereka, tetapi terkadang hidup tidak memberikan pilihan.
Apa yang mungkin terjadi kalau istri bekerja, suami di rumah?
Perubahan peran dan fungsi pasangan suami istri seperti ini, walau terkadang tidak terpikirkan oleh yang mengalami, ternyata juga menghadirkan tekanan tersendiri bagi yang mengalaminya.
1. Tersinggungnya ego sang suami dan perubahan ego sang istri
Bukan kesalahan sang istri. Keadaan yang memaksa. Meskipun demikian, tetap saja seringkali para suami mengalami masalah dalam mengatasi egonya sendiri.
Perubahan fungsinya dari sebagai pencari nafkah, tiang utama rumah tangganya tiba-tiba berubah menjadi hanya menyapu, mengepel, atau memasak, sangat besar kemungkinannya membuat dirinya merasa rendah diri dan kurang berguna. Ia merasa dirinya tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai suami.
Uring-uringan, mudah marah, tidak mau keluar rumah, bisa menjadi cara pelampiasan kemarahan terpendam.
Di lain hal, sang istri pun akan mengalami masalah dalam egonya juga. Dengan posisi sebagai pencari nafkah utama, besar kemungkinan secara tidak sadar ia akan “menuntut” kewenangan yang lebih besar dibandingkan yang biasa ia dapar sebagai ibu rumah tangga.
2. Tekanan masyarakat
Sering tidak disadari bahwa masyarakat sering memberikan secara langsung terhadap kehidupan seseorang. Gosip, bisik-bisik tetangga merupakan salah satu bentuk “tekanan” yang lazim dilakukan oleh masyarakat dimana sebuah keluarga tinggal.
Ketika mereka melihat seorang suami di rumah, sementara istri berangkat untuk bekerja, tidak jarang mereka akan mempertanyakan hal tersebut. Tidak jarang pula mereka akan menjatuhkan penilaian, malas, kurang fight, dan seterusnya pada suami. Di lain sisi mereka akan memberikan pujian terhadap sang istri sebagai orang yang mau berkorban.
Hal seperti ini pada akhirnya akan menghasilkan sebuah tekanan tersendiri bagi sebuah rumah tangga.
3. Keuangan keluarga
Dunia kerja di Indonesia, walau katanya sudah menyamaratakan antara pria dan wanita, masih seringkali menyembunyikan diakriminasi terselubung. Tidak jarang wanita akan digaji lebih rendah, dengan porsi pekerjaan yang sama.
Perubahan peran dalam rumah tangga, dimana istri bekerja dan suami di rumah, bisa membuat anggaran pendapatan dan belanja rumah tangga terganggu. Kalau pendapatan yang dihasilkan sang istri lebih rendah dari yang didapat sang suami saat ia masih bekerja, tentu saja akan menimbulkan masalah tersendiri.
Bisakah masalah yang timbul akibat perubahan peran tersebut diatasi?
Harus bisa. Kalau tidak bisa, maka keluarga tersebut bisa bubar. Rumah tangga tersebut akan seperti kapal oleng karena ada perebutan posisi nahkoda di dalamnya. Jika tidak ditemukan jalan keluarnya, hasilnya rumah tangga bisa berantakan.
Tidak akan mudah.
Satu hal yang mungkin harus langsung dilakukan adalah melakukan komunikasi terbuka antar anggota keluarga. Anak pun kalau memang sudah bisa harus diikutsertakan karena perubahan struktur dan fungsi juga akan mempengaruhi mereka secara langsung.
Beberapa hal yang harus dipahami dan dilakukan saat menghadapi hal ini, seperti :
1. Merubah gaya hidup
Dibandingkan dengan yang lain, hal ini harus merupakan yang pertama dilakukan.
Pemasukan yang berkurang rentan menimbulkan masalah-masalah baru. Oleh karena itu harus dilakukan penyesuaian segera terhadap gaya hidup yang dipakai.
Kalau biasa setiap minggu punya kebiasaan makan di luar, mau tidak mau hal itu harus disesuaikan ulang dengan kondisi keuangan yang baru. Kalau memang tidak lagi bisa dilakukan, semua anggota keluarga harus bisa menerima.
2. Bertindak sebagai satu tim
Untuk menekan ego yang mungkin sedang tinggi dari kedua sisi, pasangan suami istri harus berbicara satu dengan yang lain. Keduanya harus sampai pada titik dimana apa yang mereka lakukan adalah untuk kebaikan keluarga itu sendiri.
Tidak ada menang atau kalah. Tidak ada yang tinggi dan rendah. Semuanya dilakukan karena mereka bertujuan untuk membahagiakan orang-orang yang mereka sayangi.
3. Abaikan bisik-bisik tetangga
Kalau kompromi dan pengertian dalam kekuarga sudah terjalin dengan baik, maka akan mudah menghadapi omongan dari orang lain.
EGP. Emang Gue Pikirin.
Kasarnya begitu. Tetangga, meskipun penting, tetaplah orang lain, terutama dalam hal ini. Mereka tidak berada dalam tim yang sama. Pandangan mereka seringkali hanya berdasarkan “kulit” atau bagian luar saja.
Sudah seharusnya gosip dan omongan mereka diabaikan kalau tidak menguntungkan bagi tim. Jangan jadikan omongan tetangga sebagai sebuah beban dan harus diakomodasi, prioritas utama adalah anggota keluarga, bukan tetangga.
4. Suami harus terus mencari jalan
Mencari prnghasilan bukan hanya bisa dilakukan dengan pergi ke kantor dan mendapat gaji. Masih banyak cara untuk mendapatkan uang, berdagang, memberikan jasa, bahkan ngeblog sekalipun bisa memberikan hal yang sama.
Hal ini akan sangat membantu mengatasi perasaan rendah diri dan egonya. Bila itu bisa tercapai, akhirnya keluarga yang diuntungkan. Lebih untung lagi kalau pemasukkan dari sumber yang baru ini bisa melebihi penghasilan lama.
5. Menerima pola yang baru
Perubahan pola dalam rumah tangga dari suami bekerja, istri di rumah menjadi istri bekerja, suami di rumah memerlukan penerimaan dari semua anggota keluarga. Bukan hanya sekedar di mulut tetapi juga di hati.
Tidak ada keharusan bahwa peran suami dan istri harus sama seperti rumah tangga lain. Pola rumah tangga adalah hasil kompromi antara suami istri. Yang mana yang terbaik untuk harus disesuaikan dengan target , kondisi dan karakter masing-masing anggotanya.
Tidak semua keluarga “harus” mengikuti pola umum dalam masyarakat. Masing-masing berhak memilih jalannya sendiri.
Berpikir postif. Bertindak positif.
Itulah yang harus tetap dilakukan dalam menghadapi situasi dimana peran suami istri berubah dalam sebuah rumah tangga.
Saya tidak bilang semua akan mudah, perlu waktu, kesabaran dan saling pengertian. Perubahan ini bisa menjadi masalah, bisa juga tidak. Hal itu akan tergantung perspektif atau cara pandang semua anggota keluarga terhadap perubahan peran dan fungsi dalam rumah tangga.
Anda yang menentukan. Bukan tetangga, dan tentunya bukan saya.