Jika Orangtua Mau Belajar dan Kreatif, Maka Tidak Perlu Memukul Anak

Pernahkah Anda memukul anak? Coba diingat-ingat lagi. Juga jangan ragu jika memang pernah memukul anak. Masih sesuatu yang umum di Indonesia jika orangtua menghukum anaknya dengan cara memberi pukulan.

Bahkan, para pemuka agama juga sering mengatakan bahwa memukul anak itu boleh dilakukan.

Tujuannya memang baik, yaitu mengajarkan kepada anak bahwa sesuatu ada konsekuensinya dan sudah pasti biasanya akibat dari kesalahannya itu sangat tidak enak. Mendisiplinkan, itulah istilah yang sering dipakai para orangtua.

Saya pun mengalami masa itu ketika tangan atau ikat pinggang nyasar ke paha. Bisa juga berupa ccubitan di paha dan jeweran atau sentilan di kuping.

Sakit? Ya sakit lah. Hal itu memang membuat akhirnya saya menyadari untuk tidak mengulangi kesalahan yang sudah diperbuat.

Jadi, memang terbukti kalau memukul anak adalah sebuah hal yang efektif? Bisa dikata begiti.

Lalu, berapa kali kami, saya dan istri memukul, menjewer, menyentil anak saya, si kribo kecil yang sudah beranjak menjadi ABG saat ini?

TIDAK PERNAH. Kami, istri dan saya tidak pernah bahkan sekedar menjewer atau menyentil telinganya.

Heran?

Jangan!

Kami tidak berpikiran bahwa mendisiplinkan anak hanya bisa dilakukan dengan cara memukul mereka.Juga, kami tidak menganggap bahwa menimbulkan rasa sakit pada fisik seseorang merupakan cara yang efektif untuk mendapatkan hasil yang ingin didapatkan.Terlebih lagi, kondisi masyarakat di masa saya kecil jelas berbeda jauh dibandingkan masa sekarang.

Tetapi, yang paling mendorong kami adalah RASA SAKIT. Pernah disabet memakai gesper (ikat pinggang)? Kalau belum saya ceritakan bahwa bilur-bilur berwarna merah agak kebiruan akan membekas pada kulit selama beberapa hari. Belum lagi cubitan atau jeweran pada telinga.

Sakit bro and sis.

Padahal si kribo, adalah orang yang kami sayang. Lalu, mengapa saya harus menimbulkan rasa sakit itu pada dirinya.

Bagaimana soal disiplin dan mengajarkan si anak tentang konsekuensi dari kesalahan? Lho, memangnya orangtua tidak dikaruniai pikiran untuk menemukan caranya? Setiap anak memiliki karakter yang berbeda dan pemberian hukuman atau pendisiplinan perlu dilakukan dengan menyesuaikan terhadap perilaku, pribadi, dan sifat si anak.

Si kribo kecil adalah seorang yang perasa dan tidak terbiasa berbicara keras, agak tertutup. Oleh karena itu, kami memanfaatkan sifat perasanya dengan cara berbincang dan menjelaskan kesalahan yang diperbuatnya atau resikonya.

Pernah ia karena kesukaannya pada game membuatnya lebih suka mengurung diri dalam kamar dan bermain game saja. Hasilnya, nilai-nilainya turun dan komunikasi dengan orangtua terganggu.

Sebagai pemecahan, tidak perlu penjelasan panjang lebar, saya hanya memberikan sebuah aturan bahwa kalau ia hendak menggunakan laptop, maka ia harus melakukannya di ruang tengah dan bukan di kamar. Dengan begitu, mau tidak mau ia harus meninggalkan kamarnya kalau ingin bermain game atau menggunakan laptop.

Ia jadi lebih sering keluar kamar dan berkomunikasi dengan kami. Frekuensi bermain gamenya pun berkurang.

Tanpa pukulan. Tanpa suara keras. Hanya dengan memberikan penegasan tentang aturan yang berlaku di rumah. Tidak ada rasa sakit dan tidak ada tangisan.

Itu hanya sebuah masalah dalam kehidupan keluarga kami. Masih banyak lainnya, mulai dari memilih sekolah, sifat malas anak-anak, dan lain sebagainya.

Kebanyakan dipecahkan bahkan tanpa berteriak atau marah.Sebagian masalah lain berhasilkan diselesaikan dengan menaikkan intonasi suara saja. Tidak ada sabetan ikat pinggang atau jari terulur untuk menarik daun telinga.

Hasilnya?

Hubungan kami sebagai orangtua dan anak tetap berjalan dengan baik. Ia di usia ABGnya bisa menyadari kesalahannya sendiri bahkan ketika saya dan istri hanya mengerlingkan mata atau mengeraskan suara sedikit.

Sempurna? Jauh dari itu. Ia masih membangun dirinya sendiri dan jelas masih panjang perjalanan hingga ia mampu berdiri sendiri. Tetapi, setidaknya sebuah sistem dan hubungan sudah terjalin di antara kami bagaimana menunjukkan adanya kesalahan dalam sikap dan tingkahnya.

Kesemuanya dilakukan tanpa pukulan atau kekerasan fisik. Kesemuanya dilakukan dengan kemauan belajar dari kedua belah pihak dan kreatifitas dalam membentuk hubungan orangtua dan anak yang bisa dinikmati oleh semua pihak.

Itu saja.

+ posts