Kasus Guru Dipukul Orangtua : Satu Kesalahan + Satu Kesalahan = Dua Kesalahan


Satu kesalahan ditambah satu kesalahan tidak akan menjadi sebuah kebenaran. Paling tidak begitulah pandangan saya terhadap kasus guru dipukul orangtua siswa karena sang guru menampar sang siswa.

Kasus yang melahirkan sebuah kehebohan. Sama hebohnya dengan kasus serupa yang terjadi belum lama berselang dalam kasus guru dilaporkan ke polisi karena mencubit.

Sama-sama menimpulkan kegemparan.

Pro dan kontra terdengar dari berbagai penjuru Indonesia. Bahkan, seorang Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menggantikan Anies Baswedan pun turut serta ‘melemparkan” jerigen berisi bensin ke suasana yang sudah panas.

Penuh bara api.

Kebanyakan komentar bernada mendukung pak Dahrul, sang guru yang teraniaya. Pukulan seorang Adnan Achmad, yang juga pernah menjadi muridnya, telah mematahkan hidungnya. Kondisinya cukup menyedihkan dengan luka-luka yang dideritanya.

Simpati berdatangan dari berbagai kalangan terhadap pak guru ini.

Sebaliknya, makian dan hujatan berhamburan ke arah sang pemukul. Cemoohan pun terarah pada sang anak, yang ternyata terkenal sebagai salah satu anak bandel di sekolahnya.

Vonis sudah dijatuhkan, oleh masyarakat. Siapa yang benar dan siapa yang salah sudah ditetapkan.

Tetapi benarkah semua seperti yang terlihat?

Memang pak Mendikbud mengatakan ia merasa bahwa pendidikan sekarang terlalu lembek dan kemungkinan akan menghasilkan generasi yang lembek pula. Itu kira-kira apa yang dikatakannya menyikapi kasusu ini.

Hanya saja, rasanya tidak sesederhana itu.

Kasus guru dipukul orangtua siswa ini menggambarkan lebih dari sekedar kisah bawang merah dan bawah putih, dimana yang jahat terlihat sangat jelas dan gamblang. Hitam dan putih, tanpa abu-abu, tanpa ada warna lain.

Lebih dari itu.

Untuk coba mengerti, marilah kita coba sejenak merenungkan sebuah pertanyaan di bawah ini.

Bagaimana perasaan Anda ketika orang yang disayangi disakiti orang lain?

Apa jawaban Anda?

Banyak komentator mengatakan bahwa dulu ketika mereka kecil, kalau mereka melaporkan bahwa gurunya menampar dirinya, maka ia justru akan mendapatkan tambahan “tamparan” dari orangtuanya.

Tetapi, itu dulu!

Ingat kata “dulu”. Kata yang menunjukkan sesuatu yang sudah lewat, lampau.

Nah, kita coba jawab secara jujur, sebagai orangtua masa kini. Bukan orangtua zaman dahulu. Bisakah kita bisa menerima perlakuan yang menyakiti kepada anak kita?

Kalau saya, maka jawabannya, tentu saja, “TIDAK”. Sama sekali tidak.

Tidak akan saya biarkan orang lain menyakiti orang yang kita sayangi. Orang yang bisa dikata menjadi fokus utama saya, seorang ayah. Yang saya besarkan dengan kesungguhan dan segenap kemampuan.

Sulit untuk menerima kenyataan bahwa seseorang menyakitinya secara fisik.

Bagaimana dengan Anda?

Bisa?

Boleh terus terang, saya tidak yakin Anda akan menerima perlakuan seperti itu.

Sama seperti saya dan kebanyakan orangtua masa kini lainnya. Sama dengan apa yang dikatakan oleh Ernest Prakasa, salah seorang aktor dalam film Rudie Habibie, yang dibully karena mengatakan pandangannya dalam kasus “guru dilaporkan ke polisi karena mencubit murid”.

Lalu,

Apakah berarti tindakan orangtua memukul guru bisa dibenarkan?

Absolutely NOT!

Sama sekali tidak.

Pertanyaan di atas bukan dengan tujuan membela Adnan Achmad yang melakukan kekerasan terhadap guru. Hal itu diajukan untuk melihat inti dari permasalahan kasus guru dipukul orangtua.

Memukul seseorang bukan dengan alasan membela diri TETAP, dan akan SELALU merupakan sebuah kesalahan secara hukum, terutama hukum positif negara.

Apalagi oranglain.

Wajar saja, kalau kemudian ia berurusan dengan aparat hukum. Tindakannya memang jelas sekali merupakan sebuah kesalahan. Tidak ada keraguan untuk itu. Justru, kalau aparat yang berwenang tidak menindaknya, maka akan menjadi sebuah preseden buruk bagi masyarakat.

Dia salah dan harus mendapatkan hukuman untuk tindakannya.

Satu kesalahan + satu kesalahan = dua kesalahan

Adnan salah! Jelas sekali!

Bagaimana dengan sang guru?

Terlepas dari berbagai simpati yang diterimanya. Terlepas dari perkataan pak Muhadjir Effendy, yang sedang coba unjuk gigi, yang mengatakan tidak ingin generasi lembek.

Menampar orang lain adalah JUGA SEBUAH KESALAHAN.

Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia sudah jelas melarang kekerasan fisik terhadap siswa didik atau anak.

Fair. Harus adil!

Terlepas dari pandangan bahwa hukum tersebut mengekang guru dalam mendidik, tetap kenyataannya, hukum itu ada dan berlaku. Semua harus tunduk kepada hukum. Tidak bisa tidak.

Bahkan, pak Mendikbud pun seharusnya menyadari hal itu sebelum melontarkan ucapannya.

Jadi ada dua kesalahan dalam kasus guru dipukul orangtua kali ini.

Kesalahan pertama dibuat oleh sang guru yang menyakiti siswa didiknya, terlepas dari kekurangajaran sang murid. Kesalahan kedua dilakukan oleh sang orangtua yang memukul guru anaknya.

Kedua kesalahan tersebut tetaplah dua kesalahan. Ditindaknya sang orangtua tidak berarti bahwa tindakan sang guru menjadi benar. Keduanya tetap kesalahan.

Jika, sang orangtua, pak Adnan kemudian melaporkan balik tindakan pak Dahrul, yang juga mantan gurunya itu, wajar kah?

Wajar. Sangat wajar. Bisa dimengerti.

Saya pun kemungkinan besar akan melakukannya jikalau itu terjadi pada putra semata wayang saya.

Bagaimana dengan Anda? Apa yang akan Anda lakukan kalau ada guru menampar anak Anda? Coba tempatkan diri pada posisi pak Adnan. Lalu, katakan dengan jujur tindakan apa yang Anda akan lakukan?

Kalau Anda sudah memiliki jawabannya, tidak dilarang untuk menuliskannya di kolom komentar.

Bila belum ada jawaban, tidak apa-apa. Tulisan ini masih agak panjang.

Dalam pembukaan di atas, saya menyebutkan bahwa kasus guru dipukul ortu ini tidak sesederhana yang terlihat. Bahkan juga tidak sesederhana satu kesalahan + satu kesalahan sama dengan dua kesalahan seperti disebut di atas.

Masih besar sekali kemungkinan kasus serupa terulang di masa mendatang.

O ya. Sangat mungkin malah. Ada beberapa hal yang membuat saya berpikir demikian. Semua itu terlihat dalam berita, komentar-komentar pro dan kontra, serta bahkan pandangan dari pak Mendikbud, Muhadjir Effendy sendiri.

Yang menyebabkan kasus guru dipukul orangtua sangat mungkin terulang

Mengapa hal kasus orangtua memukul guru sangat mungkin terulang? Ada beberapa hal yang menyebabkan kita masih akan mendengar atau membaca kasus tersebut terulang.

1) Banyak guru belum sepenuhnya memakai pola didik yang baru

Menampar, memukul, mencubit, atau menyakiti secara fisik siswa didik adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh para guru di “MASA LALU”.

Pada tahun 1960-1980-an, sikap guru semacam itu adalah sesuatu yang umum. Hampir semua guru mengajarkan disiplin dan pendidikan dengan pola warisan dari masa-masa sebelumnya itu. Masyarakat pun pada saat itu menerima kalau hal tersebut dilakukan.

Sementara zaman sekarang, dengan perubahan budaya berpikir, masuknya budaya “internasional” ke dalam masyarakat Indonesia, dan kesadaran akan Hak Asasi Manusia yang semakin baik, hal tersebut mulai bergeser.

Masyarakat tidak lagi sepenuhnya menerima perlakuan guru terhadap anak mereka, kalau dalam bentuk :menyakiti”.

Sayangnya, meskipun pemerintah mulai mengucurkan dana semakin besar, mereka masih terfokus hanya pada kesejahteraan guru, bangunan sekolah dan sejenisnya. Entah mengapa, sepertinya mereka lupa menganggarkan sebuah “pendidikan” tambahan bagi para guru.

Bukan dalam hal ilmu pengetahuan, yang tentunya mereka sudah kuasai, tetapi juga pada psikologis sang guru. Banyak dari para guru masih menganggap kondisi masyarakat saat ini sama dengan saat mereka dilahirkan dan dibesarkan.

Pak Dahrul, dan besar kemungkinan pak, Muhadjir Effendy, Mendikbud RI, mungkin mengalami pendidikan dengan pola mengedepankan hukuman fisik dalam bentuk menyakiti. Mereka masih menganggap hal itu lumrah dan sewajarnya.

Bukan hanya mereka, kalau melihat komentar-komentar terkait kasus ini, masih banyak juga anggota masyarakat yang masih bisa menerimanya.

Tetapi, ada tetapinya.

Tidak semua! Bahkan justru sekarang mayoritas anggota masyarakat tidak lagi bisa menerima pola yang lama.

Buktinya?

UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Pendidikan Nasional Indonesia tidak dibuat tanpa memperhatikan keinginan masyarakat. Justru kedua huku ini bisa dikatakan mewakili apa yang rakyat Indonesia mau dalam hal pendidikan anak-anak mereka.

Terjadi sebuah ketidaksinkronan, ada gap antara yang diinginkan para orangtua dengan pola lama yang masih banyak dipakai para pengajar di sekolah.

2) Orangtua semakin peka terhadap keselamatan anaknya

Banyak orang, yang sekarang menjadi orangtua, mengalami pendidikan dengan cara yang sama. Dipukul, ditampar, dijewer, dicubit. Banyak sekali.

Termasuk saya.

Saya pun mengalami tangan digetok dengan rotan atau penggaris kayu. Dijewer guru yang lulusan sekolah jaman Belanda pun cuma pernah, cukup sering. Untungnya belum pernah ditampar.

Apa yang saya rasakan?

Sakit. Rasa tidak enak. Terhina. Marah.

Lalu, kalau perasaan tidak mengenakkan hadir dalam hati, apakah kita mau memberikannya kepada orang-orang yang kita sayangi? Tentu saja, tidak. Jangan sampai terjadi.

Oleh karena itulah, semakin banyak orangtua yang tidak lagi mengandalkan kekerasan secara fisik untuk mendidik anak mereka di rumah. Mereka mengandalkan pada persuasi, negosiasi, dan segala sesuatu yang tidak memakai kekerasan fisik. Semakin hari semakin banyak orangtua yang berjuang memutus siklus mendidik dengan kekerasan dalam rumah mereka.

Anda tentu bisa bayangkan. Ketika mereka justru menjauhkan anak-anak mereka dari tersakiti, tiba-tiba, sang guru melakukan hal yang mereka hindari. Orang lain, walau mereka pendidik, membuat orang yang disayangi sakit.

Sebuah keluarga dimana menyakiti fisik anak tidak dilakukan akan cenderung sangat menentang perlakuan menyakitkan yang dilakukan orang lain terhadap anak mereka. Sebaliknya, keluarga yang masih menggunakan pola didik memakai kekerasan, sangat mungkin akan mengizinkan hal yang sama di sekolah.

Itulah mengapa UU Perlindungan Anak dan Sistem Pendidikan Nasional Indonesia lahir. Banyak orangtua tidak lagi menginginkan ada unsur kekerasan dalam mendidik anak mereka. Mereka ingin sistemnya berubah.

3) Guru tidak kreatif

Para orangtua bisa kreatif. Mengapa guru tidak?

Maksud saya, bukan hanya guru yang memiliki batasan dalam mendidik. Para orangtua pun demikian. UU tentang KDRT juga membatasi tindakan yang bisa dilakukan para orangtua terhadap anaknya sendiri.

Salah-salah langkah, negara bisa mencabut hak asuh yang ada pada pasangan orangtua.

Kekerasan adalah sesuatu yang bisa menyebabkan hal itu terjadi.

Meskipun demikian, keputusan banyak orangtua tidak mau mengandalkan kekerasan secara fisik kepada anaknya lebih disebabkan karena kesadaran tentang sakitnya merasakan hal itu.

Untuk itu mau tidak mau para orangtua harus mencari cara lain agar anaknya mau patuh, sopan, belajar, dan lain sebagainya. Sekali lagi tanpa mengandalkan kekerasan sama sekali.

Hasilnya, sudah terlalu banyak contoh orang sukses yang bahkan semasa kecil dan bersekolah mereka sama sekali tidak pernah dipukul.

Intinya adalah kreatifitas berpikir.

Ada banyak cara untuk meminta anak mengerjakan pekerjaan rumah. Tak terhitung cara untuk mengajar anak disiplin pada waktu. Susah menghitung cara agar anak mau patuh pada omongan orangtua.

Kesemuanya tanpa harus mencubit atau menjewer lho.

Sesuatu yang seharusnya bisa dicari oleh para guru dalam menghadapi anak didiknya. Guru harus menjadi kreatif.

Sayangnya, masih banyak guru yang tidak mau berpikir bahwa kalau seorang anak tidak mengerjakan PR, lebih baik disuruh berlari keliling lapangan 10 kali dibandingkan harus menjewernya. Banyak guru yang masih tidak mau capek dan lebih suka mengandalkan pola lama, memukul, menjewer, mencubit.

Sesuatu yang bisa berujung pada kasus sejenis.

4) Masyarakat semakin sadar hukum

Guru dilaporkan ke polisi karena dianggap “menganiaya” siswa didik memiliki kemungkinan besar untuk terjadi.

Bukan karena tidak peduli terhadap susahnya para guru dalam menjalankan tugas.

Kenyataannya, orangtua sekarang memiliki sebuah standar atau tolok ukur bernama hukum atau undang-undang. Mereka akan melihat berdasarkan hal tersebut dalam menilai apakah seorang guru sudah menjalankan tugasnya sesuai aturan atau belum.

Kalau ternyata penilaian para orangtua seorang guru sudah melanggar hukum, mereka akan mengambil langkah untuk mengatasinya.

Caranya dengan melaporkan kepada pihak yang berwenang, kepolisian.

Apakah itu benar?

Jawabnya ya. Sesuai aturan yang berlaku. Tidak bisa disalahkan.

Pak Adnan, yang memukul guru, melihat kesalahan itu terjadi. Sayangnya ia melakukan dengan cara yang melanggar hukum pula, memukul. Kalau saja ia membawanya ke pihak yang berwenang, kemungkinan besar, ia tidak akan berdiri sebagai tersangka dalam kasus penganiayaan.

5) Kesadaran terhadap hukum masih rendah dalam masyarakat Indonesia

Sangat jelas terlihat dalam kasus guru dipukul orangtua murid.

Sang guru, pak Dahrul, sangat mengherankan tidak menyadari bahwa ada UU tentang Perlindungan Anak dan Sistem Pendidikan Nasional Indonesia. Dalam kedua UU tersebut sangat jelas ada pasal yang melarang kekerasan secara fisik dalam mendidik anak.

Sebaliknya, pak Adnan, sang orangtua yang memukul pak Dahrul, terlalu mengedepankan emosi dan tidak berpikir bahwa ada aturan pidana terkait memukul seseorang.

Hasilnya sama saja.

Hanya posisi di mata masyarakat, sang guru lebih kuat. Buktinya aliran simpati masyarakat terus berdatangan. Ia dianggap lebih sebagai korban, padahal ia pun seorang pelaku.

Sesuatu yang menunjukkan bahwa kesadaran hukum dalam masyarakat Indonesia masih lemah. Sikap Pak Adnan, pak dahrul, dan masyarakat menunjukkan kesemua hal itu.

Sesuatu yang sangat mungkin menyebabkan kasus serupa terulang. Semua pihak masih menganggap enteng tentang hukum.

Itulah mengapa saya sebut bahwa kasus pemukulan terhadap guru , atau pelaporan guru ke polisi sangat mungkin akan terulang di kemudian hari.

Terlalu banyak hal yang belum disadari oleh banyak anggota masyarakat.

Nah, sekarang bagaimana dengan Anda? Sudah kah menemukan jawaban terhadap pertanyaan saya di atas?

Kalau lupa pertanyaannya, saya ulangi.

Bagaimana perasaan Anda kalau guru menampar anak Anda? Apa yang akan Anda lakukan?

Silakan berbagi dengan menuliskannya di kolom komentar.

+ posts