“Aku adalah milik suamiku, dan suamiku adalah milik ibunya”. Begitulah kalimat yang menghiasi banyak meme yang beredar di internet. Biasanya diiringi dengan pertanyaan yang diajukan, untuk kaum pria, para suami, yang “seperti” mendorong mereka memilih antara ibu dan istri.
Kelihatannya BENAR dan masuk akal, tetapi, boleh saya sarankan, jika menemukan pertanyaan-pertanyaan seperti itu di internet, abaikan saja. Jangan memilih. Jangan lakukan itu.
Buat saya, pemikiran yang menempatkan dua orang wanita, “ibu” dan “istri” pada dua kutub yang berseberangan adalah pemikiran yang bodoh dan sangat tidak kreatif.
Memang, saya menyadari bahwa ajaran agama, terutama Islam (agama yang saya anut) menempatkan ibu pada sebuah posisi yang sangat tinggi. Bagi seorang anak laki-laki, ibu adalah tanggung jawab utamanya dan ia harus berusaha membahagiakan wanita yang melahirkannya itu seumur hidupnya.
Tidak dibantah tentang hal itu. Sebagai seorang anak, memastikan kesejahteraan dan membuat bahagia ibu adalah sebuah kewajiban mengingat apa yang telah dikorbankan oleh seorang ibu bagi anaknya.
Tidak salah sama sekali.
Meskipun demikian, saya tetap akan sarankan, jangan pernah terjebak perasaan dan memutuskan untuk memilih ibu daripada istri. Jika, Anda putuskan untuk memilih ibu di atas istri, maka sebaiknya Anda jangan pernah menikah.
Lebih baik demikian karena dengan begitu Anda bisa terfokus pada membahagiakan ibu Anda tanpa perlu menyengsarakan seorang “wanita” lain, istri Anda.
O ya. Bagaimanapun seorang istri juga ingin dibahagiakan oleh suaminya. Butuh perhatian, butuh support, ingin disayang, ingin dimanja. Dan hal itu akan sulit dilakukan ketika perhatian dan fokus Anda terlalu terfokus pada mengurus ibu Anda. Besar kemungkinan ia tidak akan merasa bahagia ketika curahan kasih sayang yang diharapkannya tidak didapat karena seluruh waktu, tenaga, energi dilimpahkan kepada ibu Anda sehingga tidak ada apapun yang tersisa bagi dirinya.
Tidak akan ada rumah tangga yang langgeng ketika salah satu pihak tidak merasa bahagia menjalaninya.
Jadi, haruskah mengabaikan ibu demi istri?
Tidak juga, Sama sekali tidak bahkan. Anda menjadi anak durhaka jika mengabaikan dan melalaikan kewajiban Anda terhadap orang yang membesarkan Anda. Masyarakat jelas tidak akan menyukainya dan hati nurani Anda pun akan menentang hal itu. Lalai dalam hal ini pun pada akhirnya tidak akan membahagiakan diri Anda.
Lalu harus bagaimana?
Ibu dan Istri Sama Pentingnya Bagi Seorang Pria
Tidak bagaimana bagaimana. Terimalah sebuah kenyataan penting bahwa kedua wanita itu, ibu dan istri adalah dua orang yang sangat penting bagi kehidupan seorang pria (ditambah tentunya anak). Sangat penting.
Dengan menerima kenyataan ini, maka seorang pria akan menemukan bahwa
1. Seorang pria memiliki tanggung jawab membahagiakan, merawat, dan menjaga ibunya
2. Seorang pria memiliki tanggung jawab membahagiakan, merawat, dan menjaga istrinya
Ya. Itulah fakta yang harus dihadapi seorang pria. Ia memiliki tanggungjawab yang sama. Anda mencintai istri, tentu saja, karena itulah Anda ingin hidup bersamanya. Anda menyayangi ibu Anda, wajar saja karena sebelum menikah Anda diasuh dan dibesarkan olehnya.
Tidak ada alasan untuk melepaskan salah satu dari keduanya. Para pembuat meme sering berkacamata kuda dan hanya melihat satu sisi saja. Seringkali mereka tidak melihat sisi lainnya. Agama mengajarkan kita untuk menjaga ibu, tetapi pada bagian yang lain mengajarkan kepada kita tentang bagaimana membahagiakan wanita yang menjadi istri kita.
Tidak pernah ada keharusan untuk memilih.
Anda harus menerima keduanya jika ingin hidup Anda bahagia.
Tidak ada jalan lain.
Bisakah Seorang Pria Tidak Memilih Antara Ibu dan Istri?
Jelas bisa. Dan, HARUS BISA.
Manusia diberikan otak untuk berpikir dan menemukan jalan keluar bagi setiap masalah yang ada. Dalam hal inipun, seorang pria memang harus menggunakan akal dan pikirannya untuk bisa memenuhi kedua tugas berat tersebut.
Bukan sebuah hal yang mudah memang karena terkadang ego antara kedua wanita tersebut sering menjadi penghalang utama untuk “menyatukan” dan menghasilkan sebuah hubungan yang sehat. Butuh perjuangan dan harus dilakukan sejak awal untuk menghindari situasi yang mengharuskan seorang lelaki untuk memilih.
Hal tersebut harus dibangun sejak awal, bahkan sebelum seorang pria menikahi wanita idamannya. Dilanjutkan dengan usaha terus menerus dan konsisten agar kedua wanita tersebut bisa saling mengerti dan menerima satu dengan yang lainnya.
Sama sekali bukan hal yang mudah.
Tetapi, berdasarkan pengalaman, hal itu bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Bahkan, sangat mungkin dilakukan.
Cobalah beberapa langkah di bawah ini :
1. Saat Sebelum menikah : jangan hanya pacaran berdua
Kebanyakan pasangan menikah setelah melalui proses “pacaran”, mayoritas. Perjodohan sudah semakin jarang dilakukan.
Periode pacaran ini merupakan kesempatan paling awal untuk mulai membangun sebuah hubungan yang sehat antara “calon istri” dan “ibu”.
Jangan hanya pacaran berdua saja. Luangkan waktu agar Anda juga membiarkan “calon istri” untuk “pacaran” dengan keluarga Anda, terutama dengan sang ibu.
Tentunya, tidak akan cukup dengan hanya sekali dua saja. Hal tersebut harus dilakukan sesering mungkin agar interaksi antara kedua wanita yang Anda sayangi itu bisa terbangun dan terbentuk. Anda harus berkorban dan menekan keinginan untuk berdua dengan sang pujaan hati demi sebuah tujuan yang akan justru bermanfaat bagi kehidupan di masa datang.
2. Sesudah Menikah : Jadilah penengah
Jangan memihak. Jika salah, katakan salah. Jika benar katakan benar.
Tidak selamanya seorang ibu pasti benar. Ia pun tetap manusia yang tidak akan luput dari kesalahan. Pada saat itu Anda harus berani mengambil posisi mendukung istri dan “menentang” ibu, dengan syarat tentunya.
Syaratnya adalah Anda harus menggunakan “cara” yang baik dan benar dalam mengemukakan pandangan terhadap sesuatu. Pergunakan cara sehalus mungkin untuk menjelaskan keputusan yang Anda ambil atau pandangan Anda.
Tidak berarti juga seorang istri tidak pernah salah. Lagi-lagi, ia pun tetaplah manusia dan bisa lalai atau melakukan kesalahan. Pada saat itu, maka Anda pun harus berani berpihak pada sang ibu (jika ia mengatakan sesuatu yang benar).
3. Carilah Rezeki Sebanyak Mungkin
Banyak yang mengatakan bahwa sebaiknya gaji seorang suami diserahkan dulu kepada ibunya. Kemudian menyerahkan pembagiannya di tangan sang ibu.
Yah. Entah. Tetapi, saya melihatnya aneh sekali jika hal itu terjadi.
Bagaimana seorang pria bisa menjadi kepala keluarga ketika keputusan tentang bagaimana membagi uang hasil jerih payahnya diserahkan kepada ibu. Ia tidak akan pernah menjadi pemimpin yang bisa tegak dan harus terus bergantung pada ibunya.
Keputusan itu harus tetap di tangan seorang pria untuk memutuskan pembagian yang layak.
Bagaimana jika hanya sedikit dan kurang? Bagaimana cara membaginya? Berapa besar bagian ibu dan berapa besar bagian istri?
Inilah alasan kenapa saya sebut mereka yang membuat meme adalah orang yang tidak kreatif. Ada jalan lain yang bisa dilakukan ketika penghasilan tidak bisa mencukup kebutuhan kedua wanita yang kita sayangi tersebut dan bukan hanya harus memilih.
Hal itu adalah sang pria harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan tambahan agar kebutuhan keduanya terpenuhi. Jangan berpikir sempit dengan langsung memutuskan untuk mengutamakan salah satunya.
Bekerjalah lebih keras hingga rezeki yang tersedia bahkan bisa berlebih bagi keduanya dengan begitu tanggung jawab terhadap keduanya pun akan terpenuhi. Tanggung jawab untuk dipenuhi dan bukan untuk dipertentangkan.
Dan, masih banyak cara dan jalan lain yang bisa dikerjakan seorang pria sehingga bisa menghindari situasi dimana harus memilih antara ibu dan istri. Selama Anda, sebagai seorang pria mau memeras otak dan tenaga untuk mencari jalan, akan selalu ada jalan pemecahan. Kecuali, Anda langsung “termakan” oleh ucapan-ucapan orang berpikiran sempit seperti si pembuat meme itu.
Lagi pula, siapa yang mengharuskan Anda memilih? Tidak ada. Keputusan itu ada di tangan Anda dan bukan si pembuat meme.
Saya beruntung. Tidak pernah berada di dalam situasi dimana harus memilih istri dan ibu. Ibu yang sudah menua tetap konsisten bahwa ia ingin anaknya bahagia dan tidak direpotkan oleh dirinya. Istri ternyata juga bisa mewakili saya dalam membantu mengurus ibu yang sudah menua dengan iklas dan senang hati.
Pertentangan memang terjadi dan perbedaan pendapat juga sering muncul, tetapi justru karena keiklasan keduanya, mereka justru bisa saling menyayang. Ibu tidak mau menyebut istri saya sebagai “menantu”, ia memilih “anak” sebagai sebutan bagi wanita yang sudah menemani kehidupan saya selama 16 tahun. Istri saya pun menyebut “ibu” dengan “ibu” dan bukan ibu mertua.
Batas sosial antara keduanya sudah lebur dan mereka menjadi sebuah tim yang saling dukung dan sayang.
Entahlah bagaimana bisa begitu, tetapi bisa jadi karena apa yang ditulis di atas membuat mereka membentuk hubungan anak-ibu. Yang pasti, hasilnya membahagiakan saya sebagai seorang anak laki-laki dan seorang suami.
Saya tidak harus berada dalam kondisi dimana harus memilih antara ibu dan istri.