Pengendara Di Bawah Umur Cermin Kebodohan , Kemalasan, dan ketidakpedulian Orangtua

Kebodohan dan kemalasan. Keduanya adalah simbol dari sebuah keterbelakangan. Keduanya bertanggungjawab penuh terhadap gagalnya Indonesia melepaskan status sebagai sebuah “negara berkembang”. Padahal label itu sudah melekat pada negara dengan 17 ribu pulau ini sejak tahun 1980-an dan sejak itu hampir tidak terlihat gelagat negara ini bisa berubah menjadi negara maju.

Bagaimana bisa tahu kalau bangsa ini memiliki masalah dengan kebodohan dan kemalasan?

Mudah saja. Cukup dengan berdiam di pinggir jalan manapun, mau di kota atau di desa. Tidak perlu terlalu lama pula. Satu jam saja rasanya sudah terlalu lama. Dengan waktu ini maka kita bisa melihat beberapa kali cermin kebodohan dan kemalasan di negara ini.

Bentuknya?

Pengendara di bawah umur yang lalu lalang di atas motor matic atau non matic. Seringnya tanpa mengenakan helm. Tidak jarang juga berkendara bertiga atau berempat di atas kendaraan roda dua. Kalau beruntung, maka bisa terlihat beberapa lainnya di balik kemudi mobil.

Mengapa pengendara motor di bawah umur dianggap cermin kebodohan,  kemalasan, dan ketidakpedulian?

Kebodohan

Sederhana saja.

Peraturan hukum di Indonesia menganggap seorang cukup umur ketika mereka mencapai usia 17 tahun. Tidak kurang tidak lebih. itu yang disebutkan dalam banyak perundang-undangan Indonesia.

Nah, kalau ada anak masih duduk di bangku Sekolah Dasar atau Sekolah menengah Pertama, hampir bisa dipastikan usianya pasti berada di bawah 17 tahun, kecuali ia terlambat masuk sekolah selama beberapa tahun. Lalu, mengapa ia dibiarkan berkendara?

Kecuali sang orangtua tidak bisa berhitung dan salah menghitung umur anaknya, tidak ada alasan lain. Media masa, sekolah, dan banyak pihak sudah mengumumkan dengan berbagai cara untuk mengingatkan kalau usia untuk mendapatkan “izin mengemudi” adalah 17 tahun, jadi tidak mungkin mereka tidak pernah mendengar atau membacanya.

Bukankah ketidakmampuan untuk berhitung sampai 17 tahun menunjukkan sebuah kebodohan?

Kemalasan

Kalau bukan karena kebodohan, memang bisa jadi karena orangtua merasa malas harus mengantarkan anaknya ke sekolah atau ke tempat les.

Yah, memang tidak disangkal. Berkendara itu bukan sebuah kegiatan yang nyaman dan menyenangkan. Terutama di jalan-jalan Indonesia yang semrawut dan macet itu. Bisa dimaklum.

Tetapi, bukankah sebagai orangtua kita harus mau berkorban demi masa depan anak. Bukankah itu yang selalu diajarkan sejak kita masih kecil bahwa kasih ibu sepanjang zaman. Tugas bapak adalah menjaga anak-anaknya. Semua orangtua harus berkorban demi anak mereka.

Itu sebuah kewajiban.

Lalu, menyuruh dan membiarkan anak di bawah umur berkendara, apa alasannya kalau bukan karena orangtua malas? Sudah pastilah semua pasangan suami istri tahu kewajiban mereka nantinya saat menjadi orangtua. Hanya rasa malas dan takut capek saja yang menghalangi kita untuk menunaikan kewajiban sebagai orangtua.

Ketidakpedulian

Jelas sekali. Jangan tanya soal mentalnya, fisik anak usia SD atau SMP terkadang lebih kecil dibandingkan sepeda motor yang ditungganginya. Kemungkinan berat kendaraan tidak bisa dikontrol oleh badan mereka yang kecil, tidakkah harus dipedulikan.

Belum lagi sikap ceroboh dan tidak tahu aturan karena merasa gagah dan hebat yang biasa dimiliki anak-anak (orangtua juga ada sih yang begini), sangat memungkinkan terjadinya keadaan yang tidak terkontrol.

Kecelakaan.

Peluang untuk terjadinya kecelakaan sangat besar pada pengendara motor di bawah umur. Luka fisik, cacat, dan bahkan kehilangan nyawa sangat mungkin terjadi.

Nah, sudah pasti para orangtua paham tentang resikonya. Lha ya wong, mereka kebanyakan melakukannya setiap hari saat mencari nafkah. Mereka juga pasti pernah mendengar kasus si Dul, anaknya Ahmad Dhani, yang membuat orang kehilangan nyawa. Mereka pastilah sudah membaca ribuan kasus kecelakaan yang merenggut jiwa anak-anak di jalan.

Pasti sudah didengar.

Tetapi mereka tidak peduli. Para orangtua yang mengizinkan anaknya yang di bawah umur berkendara tidak peduli kalau anaknya celaka. Mereka tidak berpikir kalau anak mereka bisa menyebabkan anak-anak lain kehilangan orangtuanya.

Mereka tidak peduli. Toh ada asuransi dan semua bisa diselesaikan dengan jalan damai. Toh juga ada Kak Seto yang akan mendesak hakim untuk memberikan perlakuan khusus kepada anak mereka kalau terjadi kecelakaan.Kalaupun anaknya yang kehilangan nyawa, anggaplah sebagai ujian dari Tuhan.

Tidak peduli. Kebodohan. Kemalasan. Semua bercampur menjadi satu dalam fenomena pengendara di bawah umur ini.

Itulah yang menyebabkan negara ini tidak bisa melangkah lebih maju. Ketika dalam hal yang berkaitan langsung dengan kehidupan mereka sendiri, mereka tetap tidak mau peduli dan menghilangkan kemalasan dirinya, bagaimana mungkin mereka bisa berpikir tentang bangsa dan negara?

Tidak mungkin.

+ posts