Sekolah 8 Jam Bukanlah Masalah, Hanya Butuh Penyesuaian Saja

Ribut lagi ribut lagi. Kalau nggak ribut sepertinya nggak rame. Sesuatu yang sebenarnyanya sederhana dan tidak ruwet sama sekali terkadang dibuat ruwet dan ribeut (kata orang Sunda) supaya rame. Hal sederhana seperti sekolah 8 jam saja kenapa harus menjadi ajang perdebatan yang panjang sekali.

Kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan pengganti Anies Baswedan, Muhadjir Effendy yang menetapkan bahwa mulai tahun ajaran 2017-2018 siswa akan menjalani proses belajar di sekolah lebih panjang dari biasanya.

Jika sebelumnya rata-rata waktu anak 6-7 jam dihabiskan di sekolah, mulai awal tahun ajaran baru ini diubah menjadi 8 jam. Sebagai konsekuensinya, hari Sabtu menjadi hari libur untuk anak sekolah.

Belum apa-apa, bahkan dicoba saja belum, sudah banyak kritikan dan penolakan. Federasi Guru menolak karena katanya kebijakan ini tidak berorientasi pada hak anak, dimana salah satunya adalah waktu untuk bermain. Hal lainnya adalah bahwa tidak semua keluarga mampu membekali anak dengan bekal untuk makan siang.

MUI (Majelis Ulama Indonesia) keberatan karena katanya akan mematikan madrasah dinayah yang dikelola masyarakat.Para siswa madrasah dinayah biasanya pergi setelah usai sekolah normal dan dengan diperpanjangnya waktu di sekolah mereka tidak lagi akan punya waktu untuk pergi ke madrasah. Menurut para ulama ini matinya Madrasah Dinayah bisa membahayakan pembentukan karakter dan moral keagamaan dari siswa karena biasanya.

Dan masih banyak lagi komentar dan kritikan dari banyak pihak mengenai sekolah 8 jam ini. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia)

Tetapi, pihak-pihak yang mengkritik sepertinya lupa menanyakan kepada orangtua bagaimana pandangan mereka. Masing-masing sibuk dengan mengkritik berdasarkan kepentingannya masing-masing.

Padahal sebenarnya, banyak sekolah sudah melakukan hal itu sejak lama.

Saya memiliki seorang putra tingkat Sekolah Menengah Pertama dan kebetulan masuk di kelas khusus, setara dengan RSBI di masa lalu  (yang sudah dihapus). Bedanya dari kelas reguler adalah jam sekolahnya mulai pukul 7 pagi hingga 3 sore, 8 jam, sama seperti kebijakan baru sang Menteri Pendidikan.

Lalu apakah ada masalah seperti yang dikhawatirkan oleh “orang-orang” pintar dari berbagai organisasi itu?

Tidak juga.

Sang anak sendiri tidak merasa keberatan menjalani sistem tersebut. Ia enjoy dan menikmatinya. Kami orangtuanya pun bisa menerimanya. Tidak pernah ada konflik hanya karena jam bersekolah bertambah 2 jam dari yang biasa.

Bahkan, hal itu menguntungkan karena ia justru bisa menghabiskan waktunya secara produktif untuk belajar atau bergaul dengan teman-temannya di sekolah. Hal ini tentu lebih memberikan rasa tenang kepada kami sebagai orangtua dibandingkan ia terus menerus bermain game online atau dengan teman-teman di luar sekolah.

Memang, sang ibu sendiri, karena ia anak tunggal agak kesepian, tetapi bukan sebuah masalah juga karena pada akhirnya ada kesibukan yang bisa dilakukan.

Justru pada akhir pekan, Sabtu dan Minggu, kami lebih leluasa untuk berkumpul bersama dan melakukan aktifitas kami selama dua hari penuh dan tidak terganggu dengan kegiatan sekolah. Si kecil juga bisa membuat rencana bermain bersama teman-teman lainnya, seperti hunting foto atau nonon bioskop bersama.

Sesuatu hal yang sulit dilakukan kalau ia harus bersekolah di hari Sabtu. Tidak efektif dan tidak efisien.

Yang menjadi masalah hanyalah di awal-awal saja di saat harus melakukan penyesuaian, tetapi setelah itu semua berjalan seperti biasa dan normal-normal saja. Tidak seperti yang dibayangkan oleh para “pecinta anak” di KPAI yang membuat sepertinya ruwet dan berbahaya sekali bagi anak. Juga tidak seperti yang dikhawatirkan MUI bahwa akhlaknya menjadi buruk hanya karena tidak pergi ke Madrasah.

Rasanya, pernyataan-pernyataan yang menyatakan keberatan atau kritik sebenarnya cenderung dibuat-buat dan tidak berdasarkan data sebenarnya. Bahkan, kalau mau berprasangka buruk, lebih pada karena mereka merasa perlu berbeda dan menentang saja dibandingkan benar-benar memikirkan kepentingan anak-anak. Anak-anak adalah komoditi pembahasan saja.

Karena, kalau dilihat kenyataannya, banyak keluarga yang sudah menjalani praktek sekolah 8 jam dimana-mana, dan bukan hanya di kota besar saja. Meski sebelum ini mereka menjalani sekolah 6 jam, biasanya tidak jarang yang menambah dengan les di bimbingan belajar, atau les keahlian.

Jadi prakteknya, mereka sudah bersekolah bahkan lebih dari 8 jam setiap harinya.

Dan lagi-lagi, tidak merupakan sebuah masalah.

Memang di Indonesia, seirngkali yang tidak berkepentingan justru lebih ribut dan ramai membahas dibandingkan yang berkepentingan. Dalam hal ini, banyak dari kami para orangtua yang tidak bermasalah dengan sekolah 8 jam, tetapi kok yang ribut MUI dan Federasi Guru atau KPAI.

Website | + posts