Memperkenalkan Kepada Anak Budaya Bangsa Lain Dengan Mengajak Makan Kuliner Asing

Makan kuliner asing seperti burger, sushi, udon, steak, dan banyak lainnya, semakin hari semakin marak di Indonesia. Banyak pengusaha kuliner dari negeri seberang memasuki negara kepulauan ini karena melihat pangsa pasar yang besar.

Tidak heran, banyak anak, karena pengaruh iklan di televisi akan mengajak orangtua mereka pergi ke gerai-gerai penyedia kuliner yang mereka lihat.

Situasi ini melahirkan pro dan kontra di dalam masyarakat sendiri, jangan ditanya kekhawatiran para pengamat budaya melihat kuliner asing yang semakin mendesak makanan tradisional sehingga terancam punah.

Banyak orang pula yang memandang mengajak anak makan kuliner asing sebagai mengajarkan cara hidup borjuis karena makanan yang berasal dari negara lain biasanya berharga lebih mahal dibandingkan yang lokal. Tidak jarang yang menolak melakukannya dengan alasan ingin anaknya lebih mecintai produk makanan lokal.

Padahal sebenarnya tidak selalu demikin. Tentunya niatan mengajak anak makan kuliner asing akan tergantung individu. Sudah pasti ada orangtua yang ingin pamer dan sekedar ingin update status di media sosial di kala makan steak, dan bukan sate, atau sushi dan bukan lalapan.

Pastilah ada orang seperti itu.

Hanya, tidak semua. Banyak orangtua yang mengajak anak mereka ke restoran yang menyediakan makanan yang bukan berasal dari negeri sendiri dengan alasan tersendiri dan bukan hanya sekedar makanannya.

Alasan itu adalah memperkenalkan budaya bangsa lain kepada si anak.

Kok bisa?

Ya bisa. Jangan salah.

Makanan adalah sebuah bentuk kebudayaan dari sebuah bangsa. Selama ini kebanyakan orang hanya berpikir bahwa kebudayaan adalah seni tari, musik, lagu, padahal sebenarnya itu hanya sebagian kecil saja. Kebudayaan adalah segala sesuatu yang merupakan hasil budi daya dan olah akal manusia dalam kehidupannya.

Kuliner atau makanan adalah salah satu bentuk kebudayaan. Di dalamnya terdapa pemikiran dan usaha manusia. Makanan mencerminkan sebuah budaya dan pola tersendiri tentang sebuah bangsa. Rasa seperti apa yang dimilikinya akan berbeda satu bangsa dengan yang lain.

Terlebih lagi, makanan bisa menggambarkan pola makan dan kebiasaan apa yang dimiliki sebuah bangsa.

Kuliner adalah kebudayaan. Sushi akan selalu membuat orang yang mendengar kata ini mengaitkan kepada bangsa Jepang, karena dari sanalah kuliner ini berasal meski sudah tersedia di banyak negara. Steak akan mengingatkan orang pada gaya makan para cowboys di negara Barat, seperti Amerika Serikat, dan masih banyak lagi.

Makanan bisa menjadi ciri khas suatu bangsa.

Mengapa Perlu Mengajarkan Anak Budaya Bangsa Lain Lewat Kulinernya?

Bukan harus, tetapi perlu.

Kata globalisasi di masa sekarang, bukan hanya diucapkan oleh para akademisi. Tidak jarang ibu-ibu rumah tangga di kampung pun sudah fasih melafalkannya, entah mereka paham atau tidak.

Yang pasti mereka yang pernah bersekolah setidaknya di SMP atau SMA paham bahwa suatu waktu batas antar negara akan “menghilang” dan interaksi antar manusia tidak lagi mengenal batas bahasa, ras, dan budaya.

Di masa depan anak-anak yang sudah dewasa tidak lagi hanya akan berinteraksi dengan orang Jawa, Sunda saja. Pergaulan mereka akan lebih luas lagi dari para orangtuanya. Tidak akan heran kalau mereka memiliki teman atau sahabat dari negeri asing nun jauh disana. Bukan tidak mungkin mereka juga berpasangan dengan pria dan wanita bermata biru dan berambut pirang.

Itulah sebuah gambaran efek globalisasi dimana gejalanya mulai terlihat mempengaruhi banyak orang dewasa ini.

Mau tidak mau, setiap orang harus menyesuaikan diri dengan irama perkembangan zaman yang seperti ini. Kalau tidak mereka akan tertinggal karena tidak bisa mengikuti dan kalah bersaing.

Apa kaitan dengan makan kuliner asing?

Cobalah lihat skenario kecil dan sebenarnya sudah banyak terjadi seperti ini.

Seseorang yang bekerja di bagian pemasaran untuk ekspor kemudian ditugaskan untuk pergi ke Jepang menemui klien penting untuk membahas pembelian produk.

Kemudian seperti layaknya negosiasi bisnis dan untuk menghormati tamu jauh, diskusi dilakukan di luar kantor. Dan di Jepang, restoran sushi adalah salah satu tempat favorit bernegosiasi sambil menikmati hidangan khas Jepang, sushi dan sashimi.

Kira-kira apa yang terjadi, jika ia tidak pernah mencoba makan sushi dan sashimi yang banyak mengandung ikan mentah?

Kemungkinannya adalah muntah dan mempermalukan diri sendiri saat makan bersama sang klien.

Sushi dan sashimi bukan hanya sekedar pengisi perut bagi bangsa Jepang, bisa dikata merupakan ikon negeri itu selain Bunga Sakura dan Samurai. Orang Jepang bangga akan hal itu.

Ketika itu terjadi, kira-kira bagaimana tanggapan sang klien.

Hal itu mungkin tidak terjadi, kalau setidaknya orang tersebut pernah mencicipinya. Tidak berarti harus menyukainya, tetapi ia tahu rasanya dan bahwa ia tidak menyukainya. Dengan begitu, ia bisa menemukan jalan untuk menghindari makanan tersebut dan bilang pada sang klien tentang masalah tersebut.

Hal ini bisa menghindarkan dari mempermalukan diri sendiri dan yang mengundang makan. Tentunya, sang klien akan merasa bersalah juga dalam hal ini.

Interaksi antar dua manusia akan berlandaskan pada budaya yang membentuk mereka. Seringkali kita dihadapkan pada situasi tak terduga dimana terjadi benturan budaya.

Globalisasi akan mendorong orang berlainan budaya untuk berinteraksi dan peluang benturan budaya yang sering menimbulkan rasa tidak nyaman di hati terjadi.

Resiko itu bisa dihindari, jika setidaknya seseorang memahami dan pernah bersentuhan dengannya, seperti mencoba kulinernya.

Bagaimana Cara Mengajarkan Budaya Asing Lewat Kulinernya?

Tidak susah. Dengan penetrasi kuliner-kuliner asing ke Indonesia, banyak restoran atau gerai yang menyajikan menu makanan yang berasal dari budaya lain.

Silakan pilih saja.

Meskipun demikian, perkenalkan anak pada beberapa hal ini, yang seringkali luput dari perhatian karena sibuk dengan makanannya.

1. Suasana di Restoran

Biasanya dekorasi di sebuah restoran yang menyandang nama asing akan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di negara asalnya. Sebagai contoh restoran Jepang akan memasang dekorasi pemandangan Gunung Fuji dan Bunga Sakura.

Berikan penjelasan kepada sang anak tentang apa ini dan apa itu.

2. Cara Penyajian Makanan

Lagi lagi, penyajian makanan asing akan meniru kebiasaan yang dilakukan di negeri asalnya. Seperti Steak yang biasanya disajikan di atas sebuah “piring panas”. Jelaskan mengapa harus memakai peralatan itu.

Belum lagi, biasanya pelayan akan menanyakan bagaimana steak harus disajikan, Rare, Medium, atau Well Done. Berikan penjelasan bahwa rare adalah “agak mentah” alias setengah matang, medium lebih matang tetapi tidak terlalu matang dna tetap ada daging yang berwarna merah, dan seterusnya.

3. Cara Makan

Makan sushi dan sashimi dengan sendok? Yang benar saja. Tidak ada yang makan sushi menggunakan sendok. Sumpit adalah wajib saat memakannya.

Lalu jelaskan fungsi dari kecap Jepang dan wasabi.

4. Penyambutan

Tingkah laku staff restoran saat menyambut pelanggan pun adalah bentuk kebiasaan yang dilakukan di negara asalnya. Sudah umum seorang pelayan di restoran Jepang akan mengatakan “Irasshaimase” atau “Selamat Datang”.

Ini adalah sebuah bentuk interaksi antar manusia, pelanggan dan pelayan di negara tersebut.

Apa yang disebutkan di atas hanyalah sebagian dari banyak tata cara hidup di negara asing yang bisa diperkenalkan kepada seorang anak. Sesuatu yang mungkin bermanfaat bagi dirinya di masa datang

Bagaimana kalau orangtuanya tidak mengetahui hal itu? Bukankah ia tidak bisa menjelaskan?

Pastilah. Ia tidak akan bisa. Itulah mengapa orangtua harus mau belajar juga. Orangtua tidak akan bisa mentransfer pengetahuan kalau ia tidak memilikinya. Jadi, sebelum makan kuliner asing, luangkan waktu sejenak untuk mendapatkan informasi yang bisa disampaikan kepada anak. Kalau orangtua tidak mau belajar, ya nasib si anak, kasihan ia tidak mendapatkan apa-apa dari orangtuanya.

Itulah mengapa  mengajak anak makan kuliner asing, dari negeri orang, tidak selamanya tindakan borjuis dan hura-hura. Banyak hal positif yang bisa diambil bagi perkembangan si anak. Tinggal tergantung orangtuanya.

Hal yang sama hingga saat ini masih saya lakukan, kalau ada keuangan agak longgar. Si kribo tidak lagi norak kalau harus bertemu sushi, sashimi. Ia juga mulai terbiasa menggunakan pisau dan garpu untuk memotong steak. Juga tidak canggung menggunakan sumpit saat makan udon.

Pada saat bersamaan ia juga mendengar banyak cerita dan pengalaman dari saya dan ibunya tentang negara-negara darimana makanan yang ia sedang makan. Yang kemudian dilanjutkannya dengan menelusuri internet untuk memuaskan rasa ingin tahunya.

Bukan. Bukan sekedar kelakuan orang borjuis. Makan kuliner asing bisa menjadi bagian dari pembelajaran kepada anak, jika memang orangtuanya mau.

Website | + posts